Leopard 2. (Photo: KMW)
23 Januari 2012, Senayan: Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf menegaskan penolakan Komisi I DPR terhadap pembelian 100 tank Leopard bekas dari Belanda bukanlah tanpa kajian yang matang.
"Saya memandang penguatan Alutsista TNI merupakan sebuah keniscayaan. Yang dipersoalkan adalah pembelian alutsista yang tidak sesuai dengan rencana strategis Kemhan dan visi kemandirian teknologi domestik, terutama industri strategisnya," papar Muzzammil dalam rilisnya Senin (23/1).
Menurut Muzzammil, minimal ada lima alasan kenapa harus menolak pembelian tank Leopard bekas dari Belanda.
Pertama, TNI dan Kemhan harus memahami bahwa anggaran untuk membeli alutsista terbatas. Anggaran untuk mencapai Minimum Essential Force (MEF) menurut Juwono Sudarsono, mantan Menteri Pertahanan sekitar Rp 120 triliun. Tahun 2011 anggaran dari APBN sebesar Rp 47,5 triliun, sedangkan 2012 meningkat menjadi Rp 64,4 triliun.
"Dengan anggaran terbatas ini kami harap Kemhan dapat mengoptimalkan pengadaan Alutsista sinergi dengan visi kemandirian teknologi domestik. Sehingga ke depan tidak lagi konsumen yang tergantung dengan pihak luar, tapi menjadi produsen alutsista yang mandiri," ujarnya.
Kalaupun harus impor alutsista dari luar negeri, maka harus dipastikan adanya kesepakatan transfer teknologi dari negara penjual dan ada jaminan keleluasaan dalam pemakaian serta ketersediaan suku cadang. Sehingga para ahli di bidang teknologi industri strategis Indonesia dapat diberdayakan untuk mewujudkan kemandirian teknologi.
"Kita harus mencegah mereka pergi ke luar negeri sehingga tidak terjadi brain drain," ujar politisi PKS dari Dapil I Lampung ini.
Kedua, menurut Muzzammil, APBN 2012 untuk TNI telah disepakati di Komisi I DPR RI akan difokuskan untuk kesejahteraan prajurit sebagai prioritas utama, baru kemudian pengadaan alutsista, itupun harus dari dalam negeri. "Karena kami memahami doktrin pertahanan terkuat adalah kesejahteraan. Jadi jika prajurit dan rakyat sejahtera maka pertahanan akan lebih kuat," tegasnya.
Ketiga, broker pengadaan alutsista dari luar negeri harus diputus. Mereka ini telah menyebabkan anggaran Alutsista menjadi besar karena harus menambah anggaran dan berpeluang terjadinya tindak pidana korupsi.
"Jangan anggap bahwa semua anggota DPR itu adalah broker anggaran dan bermain dengan isu penolakan ini. Kami komitmen untuk memutus mata rantai mafia anggaran baik di eksekutif, legislatif, maupun pihak swasta," tegasnya.
Keempat, alasan Kemhan dan TNI membeli tank Leopard karena negara maju seperti Eropa, Timur Tengah dan beberapa negara Asia seperti Malaysia, Singapur, Vietnam memiliki tank ini tidak relevan. "Saya khawatir kita terjebak dengan gengsi bukan karena alasan riil dan kajian ilmiah yang matang. Pemerintah harus memahami kebutuhan medan tempur Indonesia. Tank berat ini tidak cocok bagi medan Indonesia, berbeda dengan Eropa dan Timur Tengah yang datar," jelasnya.
Selain itu, menurut Muzzammil menghadapi alat perang modern seperti tank Leopard yang dimiliki negara lain tidak harus dengan memiliki alutsista serupa. Tapi harus mulai mengembangkan dan memiliki alutsista anti tank dan artileri.
"Misalnya, anti tank yang tercanggih saat ini dapat menghancurkan tank leopard adalah javelin missile. Senjata anti tank ini harganya lebih murah. Dimana 1 unit tank Leopard setara dengan 22 unit javelin missile. Senjata ini harus mulai dikembangkan oleh industri strategis kita," papar Ketua Poksi I Fraksi PKS ini.
Muzzammil mengingatkan, pengalaman pada pertempuran antara Israel dengan Hizbullah di Libanon telah membuktikan puluhan tank rusak dan hancur oleh senjata anti tank ini. "Begitu juga pengalaman 21 hari perang di Gaza, senjata anti tank yang harganya lebih murah telah menghancurkan tank yang harganya lebih mahal," jelasnya.
Terakhir, menurut Muzzammil, alasan utama Belanda menjual tank karena biaya pemeliharaannya tinggi. Untuk mengurangi beban krisis ekonomi di Eropa maka mereka menjual alutsista yang membebani anggaran. Saat ini mereka sudah tidak lagi fokus pada alutsista konvensional, beralih pada strategi perang yang modern. Seperti strategi perang teknologi informasi dan komunikasi.
"Untuk itu jangan sampai anggaran alutsista kita dibebani untuk pemeliharaan tank ini," tutup Muzzammil.
Calo Alutsista Sudah Biasa
Ada kemungkinan calo berperan dalam proyek pembelian tank bekas dari Belanda, Leopard.
"Ada kemungkinan calo yang mendesak untuk membeli Tank Leopard. Kalau membeli peralatan militer itu kebanyakan ada calonya," kata mantan perwira Badan Intelijen Strategis (Bais) RE Baringbing kepada itoday, Minggu (22/1).
Menurut Baringbing, pembelian tank itu menandakan tidak berfungsinya peran Badan Intelijen Negara (BIN) maupun Badan Intelijen Strategis (Bais) dalam memberikan analisa ancaman terhadap Indonesia. "Saya juga tidak mengerti, Kementerian Pertahanan lebih mementingkan tank bekas itu, padahal ancaman Indonesia berasal dari laut dan udara," ungkapnya.
Kata Baringbing, Indonesia harus memperkuat angkatan laut dalam menghadapi pencurian ikan yang telah merugikan negara triliunan rupiah. "Saya lebih setuju, membeli kapal cepat untuk menjaga laut kita dari pencurian ikan. Selama ini, angkatan laut kita masih kekuarangan kapal terutama di wilayah perbatasan," ujar Baringbing.
Ia juga tidak habis pikir, Kementerian Pertahanan bersikeras membeli tank bekas Leopard yang tidak cocok dengan kondisi wilayah Indonesia. "Tank Leopard tidak cocok dengan wilayah Indonesia yang rawa. Belum lagi perawatan tank yang cukup mahal," jelasnya.
Baringbing juga mengusulkan, pembelian peralatan militer dari perusahaan dalam negeri yang kualitasnya tidak kalah dengan produksi dari negara asing. "Kemhan harus membeli peralatan produksi peralatan militer dari PT Pindad, PT PAL yang kualitasnya tidak kalah dengan asing," pungkas Baringbing.
Sumber: Jurnal Parlemen/Indonesia Today
No comments:
Post a Comment