AH-64 Apache AD Yunani. (Foto: Hellenic Army)
10 Februari 2012, Jakarta: Rencana pembelian helikopter serang dari Amerika Serikat (AS), AH-64 Apache mendapat dukungan dari pengamat penerbangan Dudi Sudibyo.
“Kita butuh Alutsista seperti Apache,” dukung pengamat penerbangan ini ketika dihubungi itoday, Jum’at (10/2).
Dudi menilai, jika negara dengan wilayah sekecil Singapura saja memiliki Apache, kenapa Indonesia yang wilayahnya jauh lebih luas tidak punya barang sejenis.
Tetapi Dudi juga mengingatkan, Indonesia sudah memiliki helikopter serbu Mil Mi-35 Hind buatan Rusia, yang memiliki peran serta fungsi yang mirip. Jangan sampai, adanya perbedaan dari sisi teknis dan sistem, malah menjadi bumerang untuk TNI.
“Jika memang memiliki dananya, silakan beli, tapi jangan lupakan logistiknya,” tutur Dudi.
Indonesia sepertinya memang hobi sekali mengkoleksi berbagai persenjataan dari berbagai negara, dengan dalih menghindari embargo. Namun disadari atau tidak, hal itu juga menciptkan bencana lain, yakni logistic nightmare.
Setiap negara tentunya memiliki sistem yang berbeda, hal itu juga akan membedakan kebutuhan suku cadang masing-masing Alutsista sejenis. Hal itu tentunya akan merepotkan.
Dan satu hal lagi, dengan beragamnya asal negara Alutsista yang dimiliki TNI, maka pertahanan Indonesia tentunya akan semakin sulit terintegrasi dalam satu sistem yang efisien.
“Jika pemerintah dan TNI memang sanggup menghadapi masalah tersebut, silakan jalankan,” dukung Dudi. “Tetapi ada baiknya pemerintah melakukan penelitian tentang logistik itu,” pungkasnya.
Alasan DPR Tolak UAV Israel Tidak Tepat
Belum selesai dengan masalah rencana pembelian tank Leopard 2, Komisi I DPR RI kembali berkoar menentang rencana pembelian pesawat pengintai tanpa awak (UAV) buatan Israel. Dengan alasan, Indonesia tidak mengakui keberadaan Israel di muka bumi.
“Alasan DPR menolak UAV hanya karena masalah pemerintah membelinya dari Israel tidak tepat,” ujar Bambang Kismono Hadi. “Seharusnya yang diperhatikan adalah, apakah pembelian UAV dari Israel itu akan memberikan manfaat postif bagi pengembangan UAV dalam negeri,” sambung pengamat pertahanan ini ketika dihubungi itoday via telepon, Jum’at (10/2).
Harus diakui, teknologi UAV Israel memang canggih, dan salah satu yang tercanggih di dunia, bahkan AS pun harus mengakui keunggulan produk Israel itu.
“Hingga saat ini, Indonesia memang sudah bisa membuat UAV, tapi baru sebatas platform. Sedangkan masalah payloadnya, harus kita akui, Indonesia masih belum bisa mengejar Israel,” ungkap Bambang.
Payload dalam UAV sendiri berisikan sistem seperti elektronik, software dan lainnya. Hal ini yang belum bisa menyamai produk Israel, karena industrinya di Indonesia belum bagus.
Bambang berpendapat, untuk mengejar ketertinggalan itu, pemerintah seharusnya tidak hanya membeli barang untuk dipakai, tetapi juga menjalin kerjasama seperti pengembangan KFX/IFX. Dengan kerjasama seperti itu, pasti akan meningkatkan kemampuan UAV Indonesia.
“Saya setuju saja jika Indonesia bekerjasama dengan Israel dalam hal pengembangan teknologi UAV. Saya yakin Israel pun tertarik,” kata pengamat pertahanan yang juga dosen di ITB dan Universitas Pertahanan ini.
Namun Bambang juga mempertanyakan, apakah kebutuhan akan UAV secanggih itu benar-benar mendesak? Menurutnya, pemerintah ada baiknya menunda rencana tersebut dan mencari cara untuk bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan UAV canggih, seperti pola yang digunakan KFX.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan terulangnya Operasi Alpha yang mendatangkan pesawat A4 Skyhawk dari Israel secara diam-diam. Bambang tidak berani memberikan pendapatnya. Namun menurutnya, kemungkinan hal itu tetap saja bisa terjadi.
Sumber: itoday
No comments:
Post a Comment